Oleh: Suryanto

Fakultas Psikologi Unair

Para pembaca budiman, mungkin tulisan ini sekedar mengingatkan kita, bahwa dalam dalam teori tentang kelompok dan hubungan antar kelompok, (Social Identity Theory dan Social Categorization Theory) bahwa dua kelompok yang berkompetisi memiliki potensi untuk konflik. Gejala ini berbeda sekali dengan fenomena koperasi organisasi / kelompok itu bersama-sama mencapai suatu tujuan. Dalam kompetisi selalu ada blok, kutub, polarisasi, in-group-outgroup, dan sebagainya. Dampak kompetisi mestinya ada yang kalah dan ada yang menang.

Kalau pilkada / pilbup, pilgub, dst dipandang sebagai kompetisi, tentunya kesiapan mental untuk menang dan kesiapan mental untuk kalah juga harus ditanamkan baik pada jago maupun pendukungnya. Seperti halnya bermain sepakbola, kompetisi liga Indonesia juga mengharapkan kesiapan mental bagi tim maupun pendukungnya untuk menang maupun untuk kalah.

Saya pernah diwawancarai harian ibukota yang menanyakan bagaimana pendapat saya tentang akan dihentikannya liga sepakbola Indonesia akibat seringnya terjadi kebrutalan penonton akibat pertandingan bola. Di era reformasi ini, fenomena komptisi sepakbola yang “rusuh” juga tidak kalah sengitnya bila dibandingkan dengan dampak “pertandingan demokrasi” dalam pemilihan kepala desa, bupati, walikota, maupun gubernur. Pendapat saya waktu itu adalah apakah sudah dipikirkan oleh PSSI secara masak-masak bila akan menghentikan Lia sepakbola itu. Wong dalam kompetisi pilihan kepala desa sampai gubernur saja juga tidak kalah tragisnya. Konflik antar kelompok pendukung juga tidak kalah sengit, dan bahwa berlarut-larut sampai nggak ketulungan. Tentunya kalau sepakbola ditutup, cara memilih bupati dan gubernur yang juga demikian itu juga bisa ditutup dan digantikan menakisme lain yang lebih kultural dan sesuai dengan cara musyawarah untuk mufakat. Tidak seperti cara yang diadopsi secara mentah-mentah dari nggak tahu asalnya. 

Kalau salah satu sudah ada yang menang, dan yang lain dinyatakan kalah, ada saja pihak yang kalah mencari kejelekan atau kesalahan  sehingga yang menang itu juga pada dasarnya jelek dan curang. Atribusi eksternal seringkali diberikan ketika kelompoknya dinyatakan kalah. Dalam atribusi eksternal ini faktor luar kelompok dijasikan kambing hitam atas kekalahan yang dideritanya.

Sudah siapkah Anda menang? kalau siap, tentunya anda juga harus siap kalah, karena kompetisi selalu memberikan dampak tersebut. Tidak ada juara kembar dalam kompetisi.

Tulisan ini memang tidak lengkap, cuma, saya mengingatkan akapah kita akan dirundung konflik bila kalah dalam pemilihan bupati / gubernur? Tidakkah kita siap mental menghadapi akibat dalam pertandingan ini? Kiranya hal ini tidak ingin terjadi di Jatim dalam pilihan gubernur ini. Bila siap menang, tentunya juga siap kalah, baik dari calon maupun pendukungnya. Itu harapan. Semoga demokrasi yang sudah ada ini tidak ternoda oleh tidak siapnya mental menang-kalah ini.

<!– –>