Oleh: Suryanto
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Setiap tanggal 22 Desember, bangsa Indonesia selalu memperingati kegigihan perjuangan para ibu-ibu yang telah melakukan Kongres Perempuan I di Jogjakarta tahun 1028. Mungkin saja kala itu para ibu-ibu yang memiliki pemikiran jauh ke depan, sudah merasakan adanya kesadaran bahwa kemerdekaan bangsa ini hanya akan bisa diraih apabila wanita bersatu. Mungkin munculnya ide kongres juga diilhami oleh peristiwa –peristiwa kepahlawanan pemimpin wanita dan juga Sumpah Pemuda yang diselenggarakan 28 Oktober 2008.
Makna dibalik ini semua tampaknya ada beberapa nilai yang bisa diambil oleh kita, yaitu: nilai kejuangan, nasionalisme, wawasan yang visioner, persatuan dan keinginan untuk merdeka menjadi motivator untuk mereka bertemu menyelenggarakan kongres.
Namun, tampaknya ada pergeseran arti, ketika para reporter TV mewawancarai respondennya. Rata-rata mereka kalau disarikan memiliki ide antara lain: 1. ungkapan kasih sayang mereka pada ibunya, 2. doa pada ibunya, 3. apresiasi pada perjuangan ibunya, 4. penghargaan akan emansipasi wanita.
Tampaknya ide awal peringatan dan dan adanya pergeseran makna peringatan ini menunjukkan dua hal. Memang para penerus sekarang lupa zeitgeizt peristiwa masa lalu itu dan atau malah membuat harapan bahwa ibu adalah segalanya. Yang membanggakan adalah dalam peringatan hari ibu, kita tidak ikut-ikutan pada bangsa lain, yang memperingati hari ibu pada bulan Maret seperti yang dilakukan di negara-negara Eropa dan Timur Tengah. Kita juga tidak seperti negara-negara di AS, Kanada, Jerman, Australia dan lain-lainnya yang memperingati pada bulan Mei. Bahkan mereka membuat hari harus mencari tokoh simbolik dari negara lain atau mitos.
Kita sebagai bangsa harus berbangga, bahwa untuk memperingati peristiwa seperti Hari Ibu sudah ada tonggak sejarah yang dijadikan patokan. Tokoh-tokoh leluhur seperti Putri Shima dari kerajaan Kalianga yang adil (menurut buku sejarah) juga bisa dijadikan model akan kepemimpinannya. Para pejuang perempuan lainnya juga bisa diambil akan teladan akan keberaniannya.
Yang penting, bukan emansipasi dan kesamaan hak-nya antara laki-laki dan perempuan yang saya ingin tonjolkan, yang penting dalam peringatan ini melahirkan dan menumbuhkembangkan kebersamaan (togatherness) dalam mencapai cita-cita bangsa yang adil dan makmur dalam Negara Kesatuan RI ini. Itu saja.
(Mungkin koherensi ide tulisan ini agak kacau karena ditulis saat memperhatikan ceramah)
December 22, 2008
Posted by suryantopsikologi |
Uncategorized |
Leave a comment
Oleh Suryanto
Fakultas Psikologi Unair
Di era reformasi saat ini, demokrasi sudah menjadi barang yang tidak ditawar dan ditolak lagi. Setiap aktivitas yang ada selalu mendasarkan pada konsep demokrasi ini.
Pemilihan kepada Desa, Bupati, Walikota, Anggota Dean, an bahka memilih Presiden, selalu menggunakan prinsip itu. Mungkin dalam beberapa hal kita setuju. Dan sekali lagi sangat setuju.
Namun, ternyata demokrasi itu tidak murah alias mahal. Untul memilih kepala desa saja beayanya mencapai ratusan juta da kaau dihitung dari gaji yang dia akan peroleh selama menjaat akan tidak cukup untuk mengembalikan modalnya. Apalagi kalau pilihan Bupati dan mungkin yang lebih tinggi lagi.
Kalau dilihat hasilnya, pilihan dengan sistem election tampaknya juga tidak bisa diterima dengan mudah di hati sanubari rakyat. Siap menang tidak siap kalah. Beaya demokrasi (pilihan) yang besar sebenarnya bisa digunakan untuk kepentingan lain yang sifatnya menyejahterakan dan memenuhi kebutuhan rakyat. Ekses lain yang menyedihkan adalah munculnya potensi konflik dan disintegrasi. Hampir bisa dipastikan setelah pilihan, konflik yang merugikan menjadi salah satu akibat dari proses demokrasi tersebut. Tidak saja kerugian uang dan harta benda, darah dan bahkan nyawa juga tidak lepas dari akibat tersebut.
Lalu, begitukah demokrasi harus mengalahkan nilai-nilai yang tertuang dalam sumpah pemuda ? Ini pertanyaan saya. Haruskan bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu dikalahkan oleh nilai “demokrasi” yang mungkin kebablasan. Sila keempat dasar negara kita menyatakan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakanaan dalam permusyawaratan / perwakilan” harus dimaknai pilihan langsung untuk semua jenjang?
Tidakkah prinsip kompetensi , menurut asas-asas manajemen organisasi bisa diterapkan, sehingga eleksi tidak harus bolak-balik nyoblos?
Kalau sejumlah aktivitas itu membahayakan integrasi seperti yang tertuang dalam nilai-nilai sumpah pemuda tidakkah perlu dipikirkan ulang mengenai cara dan mekanismenya? Mungkin para petinggilah yang tahu, dan wakil rakyat yang membawa suara rakyat lebih arif dan bijaksana dalam menerima konsep demokrasi tersebut. SEMOGA.
November 14, 2008
Posted by suryantopsikologi |
Uncategorized |
Leave a comment
Oleh: Suryanto
Fakultas Psikologi Unair
Para pembaca budiman, mungkin tulisan ini sekedar mengingatkan kita, bahwa dalam dalam teori tentang kelompok dan hubungan antar kelompok, (Social Identity Theory dan Social Categorization Theory) bahwa dua kelompok yang berkompetisi memiliki potensi untuk konflik. Gejala ini berbeda sekali dengan fenomena koperasi organisasi / kelompok itu bersama-sama mencapai suatu tujuan. Dalam kompetisi selalu ada blok, kutub, polarisasi, in-group-outgroup, dan sebagainya. Dampak kompetisi mestinya ada yang kalah dan ada yang menang.
Kalau pilkada / pilbup, pilgub, dst dipandang sebagai kompetisi, tentunya kesiapan mental untuk menang dan kesiapan mental untuk kalah juga harus ditanamkan baik pada jago maupun pendukungnya. Seperti halnya bermain sepakbola, kompetisi liga Indonesia juga mengharapkan kesiapan mental bagi tim maupun pendukungnya untuk menang maupun untuk kalah.
Saya pernah diwawancarai harian ibukota yang menanyakan bagaimana pendapat saya tentang akan dihentikannya liga sepakbola Indonesia akibat seringnya terjadi kebrutalan penonton akibat pertandingan bola. Di era reformasi ini, fenomena komptisi sepakbola yang “rusuh” juga tidak kalah sengitnya bila dibandingkan dengan dampak “pertandingan demokrasi” dalam pemilihan kepala desa, bupati, walikota, maupun gubernur. Pendapat saya waktu itu adalah apakah sudah dipikirkan oleh PSSI secara masak-masak bila akan menghentikan Lia sepakbola itu. Wong dalam kompetisi pilihan kepala desa sampai gubernur saja juga tidak kalah tragisnya. Konflik antar kelompok pendukung juga tidak kalah sengit, dan bahwa berlarut-larut sampai nggak ketulungan. Tentunya kalau sepakbola ditutup, cara memilih bupati dan gubernur yang juga demikian itu juga bisa ditutup dan digantikan menakisme lain yang lebih kultural dan sesuai dengan cara musyawarah untuk mufakat. Tidak seperti cara yang diadopsi secara mentah-mentah dari nggak tahu asalnya.
Kalau salah satu sudah ada yang menang, dan yang lain dinyatakan kalah, ada saja pihak yang kalah mencari kejelekan atau kesalahan sehingga yang menang itu juga pada dasarnya jelek dan curang. Atribusi eksternal seringkali diberikan ketika kelompoknya dinyatakan kalah. Dalam atribusi eksternal ini faktor luar kelompok dijasikan kambing hitam atas kekalahan yang dideritanya.
Sudah siapkah Anda menang? kalau siap, tentunya anda juga harus siap kalah, karena kompetisi selalu memberikan dampak tersebut. Tidak ada juara kembar dalam kompetisi.
Tulisan ini memang tidak lengkap, cuma, saya mengingatkan akapah kita akan dirundung konflik bila kalah dalam pemilihan bupati / gubernur? Tidakkah kita siap mental menghadapi akibat dalam pertandingan ini? Kiranya hal ini tidak ingin terjadi di Jatim dalam pilihan gubernur ini. Bila siap menang, tentunya juga siap kalah, baik dari calon maupun pendukungnya. Itu harapan. Semoga demokrasi yang sudah ada ini tidak ternoda oleh tidak siapnya mental menang-kalah ini.
<!– –>
November 14, 2008
Posted by suryantopsikologi |
Uncategorized |
Leave a comment
Oleh: Suryanto
Fakultas Psikologi Unair
Siapa yang tidak senang, kalau setiap orang memiliki hak untuk mengemukakan pikiran, ide, pendapat, aspirasi secara bebas? justru hal yang seperti inilah yang banyak dicari mansia pada umumnya di dunia ini.
Tulisan ini tergelitik atas ucapan rekan saya yang di desa saat pemilihan Gubernur putaran kedua di walayahku. Ketika aku tanya, sejauh manna partisipasi politik masyarakt yang mencoblos? jawabnya dengan ringannya, yaitu: milih lurah wae oleh sangu, milih gubernur kok nggak oleh apa-apa. (memilih kepala desa saja dapat sangu, memilih gubernur yang nggak dapat apa-apa).
Mungkin jawaban jujur, karena faktanya demikian. Ada kesepakatan antar calon kades untuk memberi uang saku (minum/makan) saat pergi ke Tempat Pemungutan Suara. Dalam pemilihan Gubernur tidak ada hal itu. Makanya tidak heran tingkat GOLPUTNYA mencapai 45%.
Menurutku hal itu wajar, karena aturan yang dibuat KPU memang tidak menyentuh hati dan kebiasaan yang sudah berlaku untuk level bawah. Tahunya demokrasi itu identitk dengan partisipasi politik yang disadari oleh para pemilihnya. Tahunya kalau golput itu memang sudah tidak ada pilahan calon yang sesuai kehendak. Ternyata masih ada satu alasan yang mungkin tersisa, karena milih kades lebih menguntungkan daripada milih gubernurnya.
Itu mungkin pemikiran sederhana, namun bila lihat analoginya, keduannya sama-sama milihnya pemimpin, dan idealnya milih gubernur “sangunya” lebih banyak, kan gajinya lebih tinggi?
Kalau hal itu dituruti mungkin, beaya pilihan akan semakin besar. Untuk dapat dukungan perlu beaya besar. Kalau sudah mentok, dukunnya yang bertindak. kalau duwit dan dukun sudah ikut terlibat dalam proses demokrasi, berarti kekebasan demokrasi itu sudah tidak didasari atas partisipasi murni, melainkan sudah harus dibeli.
Akankah kita banga dengan demokrasi yang sama dengan dukungan, duwit, dan dukun?
November 14, 2008
Posted by suryantopsikologi |
Uncategorized |
Leave a comment
Oleh :
Suryanto
Fakultas Psikologi Unair
Kawan, tulisan ini baru sempat saya sampaikan dalam blog ini. Tapi idenya sebenarnya sudah sangat lama.
Ketika saya ke Thailand beberapa waktu lalu, saya sempat ketemu sama kawan saya di sana. Saya coba untuk menanyakan betapa cepatnya perkembangan fisik dan kampus disana. Dia menjawab, kami selalu mencoba untuk mengembangkan diri tanpa malu ke berbagai negara. dan setelah itu kami coba untuk memberanikan diri bahwa kami juga bisa menjadi seperti mereka, bangsa-bangsa yang kami kunjungi. Kami tidak banyak memikirkan konsekuensi jeleknyanya asalah program kami saya buat rasional dan visioner. Itulah jawaban singkat mereka.
Lalu saya berpikir, adakah keberanian itu dalam diri saya, dalam diri kami generasi di negeri ini. yang sedikit membuat saya tergugah, mereka menganjurkan, kalau kita mau bangkit, maka kita tidak harus terlalu lama dan banyak berkikir, namun pemikiran yang visioner harus menjadi kebiasaan kita. bukan pemikiran yang didasarkan pada keraguan dan ketakutan akan konsekuensi negatif yang selalu menghantui.
Saya kemudian merefleksikan kejadian di negeri ini manakala para peletak dasar negeri ini memutuskan untuk merdeka. Mereka tidak memiliki apa-apa. Hanya tekad dan keberanian yang menjadi modal untuk bangkit membangun negeri ini.
Mungkin sudah waktunya banyak wacana dikurangi, dan tindakan yang riil perlu diperbanyak. Itulah kungci kebangkitan kita bersama dalam berbagai bidang.
SEMOGA.
October 6, 2008
Posted by suryantopsikologi |
Uncategorized |
Leave a comment
Oleh : Suryanto
Fakultas Psikologi Unair
Para pembaca yang terhormat
Lebaran telah tiba, dan di tahun 1429 ini usia kita tentunya bertambah.
Lalu bertambahkah ibadah dan amalan kita? itu pertanyaan yang selalu harus dimunculkan dalam sanubari kita. Hanya itu modal dan bekal kita ketika kita akan menghadap pada Sang Kholik.
Selain cermin ibadah, kita apakah juga melakukan slaturahmi pada kerabat dan kawan? kalau itu bisa dijalankan berbahagialah kita.
Semoga di hari lebaran ini, kita menjadi manusia yang fitrah. AMIN.
October 6, 2008
Posted by suryantopsikologi |
Uncategorized |
Leave a comment
Oleh
Suryanto
Fakultas Psikologi Unair
Ada satu cerita menarik tentang pendidikan anak yang saya peroleh dari cerita kawan dari Afganistan. Beliau adalah Staf Unesco dari Afganistan di saat saya mengikuti International Conferecene in Asia-Paficic tentang Pendidikan Inklusi di Sanur Bali pada akhir bulan Mei 2008 ini. Ibu ini seorang pendidik yang kebetulan memiliki perhatian pada pendidikan anak dan menyelenggarakan pendidikan inklusi.
Dalam awal ceritanya, beliau menyatakan bahwa anak inklusi di Afgan sangat banyak. karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan belajar secara equal, sementara pendidikan inklusi itu intinya semua orang harus dapat kesempatan dan peluang untuk memperoleh pendidikan yang sama pula.
Beliau cerita, ada suatu daerah di Afgan, dimana anak2 usai sekolah yaitu antara 9-15 tahun tidak belajar seperti layaknya orang lain. Khususnya anak laki, mereka sudah mendapatkan pendidikan (dogma) dari ortunya, bahwa mereka harus siap perang. Saya tidak cerita dalam tulisan ini golongan apa mereka ini. Hanya saja, dogma dan fanatisme bahwa mereka harus siap menjadi pembunuh manusia lain sangat kuat di kalangan kelompok ini. Mereka ini menggunakan agama untuk melakukan doktrin pada generasi ini. Hasil dari proses dogmatik ini, mereka dan rakyat kelompok ini malas belajar dan menjadi sangat terbelakang serta miskin maupun adanya jiwa dzalim secara subur. Untuk apa memperoleh pendidikan tinggi, kalau mereka tidak “beragama” sesuai ajaran di situ. Tidak sesuai dengan nilai dan ajaran yang dianut.
Aku lalu berpikir, apakah nabi-nabi mereka juga mengajarkan pada generasi mudanya waktu itu juga memberikan doktrin bahwa mereka juga harus menjadi pembubuh? Sebagai orang awam, saya lalu berpikir, alangkah sedihnya hati sang nabi (phropet) kalau beliau mengetahui ajarannya sekarang menjadikan manusia tidak banyak berbuat kebaikan pada manusia lain, malahan lebih banyak menimbulkan keonaran untuk lingkungan dan kesedihan orang lain?
Menurut kawan saya ini, anak laki-laki yang usia muda itu malas belajar, dan bahkan sudah mulai madat dengan menggunakan opium. Mereka juga menjalankan ibadah menurut agamanya, dan mereka ini juga menggunakan opium untuk kebiasaan sehari-harinya. Hasilnya sekali lagi, keterbelakangan. Bahkan, para pemimpinnya, cendererung menggunakan agama sebagai kedok untuk meraup keuntungan pribadi. Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi.
Lalu aka kaitan judul tulisan ini dengan isinya pesan moralnya?
Pendidikan dogma perlu, namun, dogma yang seperti apa yang harus diberikan pada generasi berikutnya, aau materi yang berkaitan dengan dogma. Saya kira keterbelakangan di Afgan tidak ingin kita alami dengan mengajarkan dogma yang salah. Kalau kita tahu, bahwa di lingkungan kita beragam, tentunya ada bagian2 dogma yang juga mengajarkan keberagaman. Bukannya, mengajarkan inilah yang paling benar.
Kalau semua itu kebenaran berada pada tataran interpretasi, mari kita kaji lagi, kita sadari lagi, apakah memang interpretasi kita sudah benar dan mengalami proses intersubyektif.
Itu saja. Kita tidak ingin generasi muda yang pendidikan agamanya salah, tidak menghargai orang, tidak mau menerima orang lain. Saya ingat nabi ku. beliau selalu memberikan contoh, kebaikan dan kelembutan sebagai senjata untuk melawan keangkara murkaan. Bahkan ketika dilempari feses-pun, beliau tidak marah, malah mendoakan agar orang yang melempar itu insyaf. Amin
June 4, 2008
Posted by suryantopsikologi |
Uncategorized |
Leave a comment
Suryanto
Fakultas Psikologi Unair
Di hari Minggu 1 Juni 2008 ini tepat hari lahirnya Pancasila yang oleh para pendiri negeri ini diangkat dan dipersiapkan untuk menjadi dasar negara di republik ini. Alangkah malu dan nistanya bila nilai yang dipunyai mulai dilupakan, dan mulai malu diucapkan oleh warganya. Kalau pada masa lalu, nilai-nalai itu coba untuk ditanamkan secara formal maupun non formal dalam masyarakat, sekarang nilai-nilai itu sudah tidak lagi diwujudkan secara eksplisit di masyarakat. Bahkan mungkin di era reformasi ini orang tabu untuk mengucapkannya, kecuali dalam upacara bendera.
Bahkan era materialisme yang katanya demokratis ini lebih banyak nilai yang digeserkan dalam tatanan sikap dan perilaku warganya. Orang sudah lupa akan “Ketuhanan yang maha Esa” dan yang diingat baik secara sadar maupun tidak adalah “Keuangan yang maha Kuasa”, sehingga melupakan nilai ketauhidan yang menjadi nilai kemusyrikan. Orang sudah mulai menggeser nilai kemanusiaan yang adil dan beradad dengan nilai kemanusiaan yang penting untuk kepentingan pribadi walaupun tidak beradab. Semangat persatuan juga sudah muncul ketika menjadi raja-raja kecil baik dalam tata pemerintahan maupun dalam dunia bisnis. Nilai kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan mulai luntur ketika value demokrasi menjadi kebanggaan negeri walau untuk menjalankan demokrasi menggunakan cara “money politic”. Dan mungkin keadilan sosial terlalu jauh untuk dipikir dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari yang masih lebar adanya kesenjangan sosial ini.
Semoga di hari kelahiran pancasila ini kita tergerak kembali untuk membaca, memahami, dan mengamalkan kembali nilai-nilai yang pernah dicetuskan oleh para pendiri negeri ini, bahkan tidak harus menunggu sampai pada hari kesaktiannya yaitu 1 Oktober, melainkan bisa dimulai hari ini dan detik ini melalui pribadi-pribadi patriot dan pembela bangsa ini.
Bangsa yang besar tidak diukur dari kekayaan negerinya dan jumlah rakyat serta keluasan daerah, tapi lebih diukur dari pengabdian dan patriotisme warga para negerinya. SEMOGA BERMANFAAT UNTUK REFLEKSI DIRI KITA.
June 1, 2008
Posted by suryantopsikologi |
Uncategorized |
Leave a comment
Oleh:
Suryanto
Fakultas Psikologi Unair
Kalau kita cermati lingkungan saat ini, bersamaan dengan hari kebangkitan nasional 20 Mei 2008 ini, ada dua gambaran dalam pikiran saya. Gambaran pertama, adalah bayangan saya saat persatuan dan kesatuan bangsa mulai dibangun. Bermula dari pemikiran para tokoh muda intelektualis yang belajar di luar negeri, kemudian dibawa ke dalam negeri, dan dari sini mereka ini merasakan betapa negeri yang indah dan makmur ini telah dikuras harta dan kekayaannya oleh penjajah kala itu. Semua sumber daya dikuras habis tidak hanya setahun dua tahun, melainkan beratus-ratus tahun. Dari kasus tersebut, pelajaran apa gerangan yang bisa didapat? Kita sebagai bangsa Indonesia yang beragam suku, beribu pulau, beribu bahasa, dan berbeda kebiasaan, mencoba merenung, betapa enaknya kalao bersatu untuk mengenyahkan penjajahan.
Hasilnya adalah adalah perasaan sama, identik, senasib sepenanggungan, sebangsa dan serumpun, yang menjadi ikatan sosial dan ikatan batin seluruh anak negeri ini. Yaitu SATU NUSA, SATU BAHASA, DAN SATU BANGSA. Saat-saat kulminatif inilah IDENTITAS KEBANGSAAN, IDENTITAS NASIONAL, IDENTITAS KEBANGKITAN sebagai bentuk identitas sosial yang baru dan merupakan univikasi berbagai keragaman sumber daya yang ada di negeri ini. Dan kalao Identitas ini diangkat dan didengungkan selalu dalam kalbu para anak negeri, kiranya sedikit akan menurunkan sifat angkuh dan egois sebagai pribadi. Mungkin orang akan banyak lupa manakala pupuk jiwa ini mulai luntur. Materialisme, egosentrisme, egoisme, hedonisme dan hilangnya sosialisme anak negeri, tampaknya mulai menjadi bagian nilai-nilai yang diimpor dan nilai -nilai kebangkitan pada pemuda 100 tahun lalu mulai dilupakan.
Gambaran yang kedua terjadi di saat bulan Mei ini yang sudah 100 tahun kebantikan nasional dibangun, alangkah sedih dan pilu negeri ini. Kalo dahulu penjajah Belanda menjadi target yang gampang diperangi, sekarang , siapa targetnya? Susah untuk dijawab. Silakah merenung sendiri. Sebab sejak hari-hari demonstrasi tentang BBM, yang selalu di lapangan adalah para demonstran dan anak negeri lain yang sedang bertugas juga demi negeri. Apakah pegulatan dan pertarungan anak negeri menjadi bagian dari kebangkitan nasional itu sendiri. Hampir di seluruh daerah di negeri ini selalu diwarnai pertarungan, lemparan batu, ayunan pentungan, tembakan karet, dan sepakan kaki sepatu berlars. Haruskan kebangkitan itu identik dengan perkelahian antara rakyat dengan pengelola negerinya?
Alangkah malangnya negeri yang 100 tahun lalu mulai dibangkitkan oleh jiwa nasionalisme dan keinginan yang kuat untuk maju dan “menendang ” penjajah dan saat kini mulai dinodai oleh kepentingan yang mengatasnamakan rakyat dan perintah atasan.
Coba renungkanlah, di hari kebangkitan ini. Haruskan kita direcai beraikan oleh ekonomi? Haruskah persatuan dan kesatuan negeri dihancurkan oleh permusuhan? Kalau memang semua ini bersumber dari masalah ekonomi, mungkin kita harus bertanya pada diri sendiri. Adakah Tuhan selain Allah? Kalau jawabnya tidak ada, tentunya kita akan menjadi umat yang memiliki kepercayaan dan keimanan bahwa semua itu adalah cobaan karena akibat kelalaian kita. Akibat mismanajemen kita. Namun kalau jawabnya “Ada” walaua dalam alam ketidaksadaran kolektif (colllectitive unconsciousness) dan itu adalah uang dan materi, maka berhala baru yang dikumandangkan oleh paham materialisme menjadi sumber kemusyrikan baru yang mungkin tidak membawa kita ke surga nanti. tapi langsung dosa yang tidak diampuni.
Semoga renungan ini bisa menyadarkan kita semua menjadi bangsa yang besar, bangsa yang lebih mandiri, dab bangsa yang berkepribadian. Amin.
May 23, 2008
Posted by suryantopsikologi |
Uncategorized |
Leave a comment
Oleh :
Suryanto
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Kawan, penonton dalam pertandingan olahraga memilki peran yang cukup penting. Dasar teorinya adalah kehadiran penonton / suporter dapat pempengaruhi penampilan seseorang. Ada teori social facilitation, dan ada juga teori social loafing.
Dalam social facilitation, kehadiran atlet dapat meningkatkan penampilan atlet. Alasannya adalah mereka menjadi arousal, dan dari arousal, mereka bisa bangga dan termotivasi untuk tampil lebih baik. Sementara itu social loafing terjadi apabila dengan hadirnya penonton, mereka menjadi semakin buruk penampilannya.
TIdak semua pertandingan membutuhkan dukungan penonton. karakteristik pertandingan perlu diperhatikan. Jenis olahraga yang butuh konsentraasi, dengan hadirnya penonton akan menyebabkan mereka tidak mampu berkonsentrasi dengan baik. Penonton bisa mengganggu mereka. Sementara itu, untuk pertandingan cabang olahraga bermain, kehadiran penonton akan membantu menjadikan pemain/atlet giat untuk mengikuti arahan penonton tersebut. Mereka takut kalah, dan mereka ingin meningkatkan penampilannya.
tentunya, situasi pertandingan harus juga diperhatikan.
Saat tim yang didukung dalam kondisi leading skornya, maka motivasi penontonnya harus diarahkan ke atlet agar mempertahankan penampilanya tersebut. Bila atlet penampilannya mau kalah, maka mereka harus disemangati agar motivasinya meningkat, dan palign tidak mampu mengimbangi permainan lawan.
Dengan cara itu, paling tidak akan diperoleh dukungan psikologis untuk tim tersebut. Resep ini terlalu sedikit memang.
May 12, 2008
Posted by suryantopsikologi |
Uncategorized |
Leave a comment